NgeShare - Di antara Khitan dan Sepeda Kenangan

by - 3/05/2016

“Pak, kalau aku sudah dikhitan nanti, boleh ya aku beli sepeda?”
Sekiranya, itulah kalimat yang kuucap sebelum akhirnya aku mendapatinya, sebuah sepeda impian yang kubeli dan sampai detik ini telah menyimpan kenangannya tersendiri. Ya walau mungkin terdengar cukup menggelikan atau memalukan untuk kalian dengar, tetapi begitulah adanya situasi saat itu yang sedang kujalani. Sebagaimana mestinya seorang lelaki yang harus memiliki jati diri, tentunya aku harus berani menjalani namanya keharusan yang dilakukan oleh setiap lelaki yang akan merangkak pada tingkat aqil baliq.

Sejujurnya sebelum memutuskan iya tidaknya, aku merasa ragu, gelisah, hingga takut. Ya, selayaknya bocah pada umumnya aku waktu itu, maklumlah karena aku waktu itu masihlah seorang anak SD yang ingusan. Tetapi keraguan itu seketika tergilas oleh sebuah janji dari bapak. Janji yang mana ia akan membelikanku sepeda selesai dikhitan kelak, janji yang akhirnya kusadari bahwa itu hanyalah siasat bapak agar diriku mau dikhitan. Dan sewaktu itu pas pula dengan teman sebaya yang juga akan dikhitan, membuat mantap tekad dan keberanianku.

Selepas itu, bayangku sebagai seorang anak yang baru saja dikhitan pada umumnya, ah pasti ini nanti akan ada syukuran, atau minimal ada orang yang membesuk yang kemudian menitipkan selembar amplop beserta isinya atau membawakan makanan yang kuharapkan. Ya, wajarlah untuk pemikiran seorang anak kecil, bukankah kamu dulu juga demikian? Tapi, hmmm...bayangan tinggal bayangan, benar adanya bahwa ekspektasi tak selalu sama dengan realiti(a), ternyata bapak tidak mengadakan syukuran untukku. Aku pun bertanya-tanya dalam angan, mengapa bapak tidak mengadakan syukuran? Padahal dulu sewaktu masku dikhitan, ia mengadakan syukuran dan mengundang tetangga sekitar. Sampai suatu ketika, bapak menjawab rasa penasaranku dengan kalimatnya, “Le, maaf ya, bapak ndak bisa mengadakan syukuran untuk kamu. Masih banyak keperluan lain yang harus lebih kita utamakan, terutama untuk sekolahmu dan kedua kakakmu.”

Jika saja bapak berkata demikian, mungkin saja sejak awal aku tak sampai tega berpikir buruk tentangnya. Selain itu juga bapak berkata jika ia tidak ingin merepotkan para tetangga, terlebih jika mereka datang dengan membawa sesuatu yang kuharapkan sebelumnya. Ia merasa tak enak hati bilamana mengadakan acara hanya untuk mencari keuntungan di dalamnya. Dan juga bapak alasan bapak tidak mengadakan syukuran ialah karena tetanggaku yang juga orang tua dari teman sebayaku yang dikhitan bersamaku tadi sedang mengadakan syukuran besar-besaran.

Tak baik bila ada dua acara dalam waktu yang berdekatan. Ya meskipun mengadakan tidaknya itu adalah hak dari semua orang, tapi tetap saja kesannya tak mengenakan. Apalagi juga karena pesta tersebut diadakan tepat di depan rumahku. Aku hanya bisa menatap dari balik jendela rumah sambil sesekali membayangkan bila tu diadakan untukku. Tapi ah sudahlah, namanya rezeki orang beda-beda, sudah diatur dan ditetapkan sebagaimana mestinya oleh Tuhan. Jika tak ada rezeki hari ini, mungkin atau pasti akan ada rezeki di hari esok. Sebagai manusia kita hanya dapat berusaha.

Namun, munafik rasanya bila aku tak merasa iri dengannya. Ya, sewajarnya manusia yang memiliki rasa, apalagi bocah yang mana bila ada teman yang membeli mainan baru, ia pasti akan merasa iri karenanya dan ingin seperti dia, meski pada akhirnya tak dapat sepertinya.

Selepas aku dikhitan memang sama sekali tak ada tetangga yang datang ke rumah, mungkn ya karena mereka tak tau, dan inilah yang diharapkan oleh bapak. Tetapi sehari setelahnya, tak diduga-duga beberapa tetangga mulai silih berganti datang, menyampaikan ucapan selamatnya dengan beberapa yang menyelipkan amplop dan isinya yang kudamba ke tanganku. Ah, apakah ini yang disebut dengan "rezeki orang tiada menduga"? Padahal bapak tak pernah berkata kepada tetangga jika anak bungsunya (aku) baru saja dikhitan, tapi ah mungkin ini juga karena aku dikhitan bersamaan dengan orang lain.

Amplop beserta isinya itu pun kukumpulkan dan kemudian kuberitahukan kepada bapak, “Pak, alhamdulillah aku dapat rezeki, ya walaupun tak begitu banyak, hehe...”.

Lantas bapak berpesan dengan bijaksananya, “Ya, alhamdulillah itu rezekimu Le, mau kamu apakan dengan rezekimu itu terserah kamu. Tapi kalau boleh bapak sarankan kamu untuk menabungnya lebih dahulu, siapa tahu bisa membantumu di saat yang tak terduga nanti.”

Selayaknya anak SD yang polos waktu itu, aku pun berkata pada bapak dengan senangnya, “Pak, kalau seumpama uang ini mau kupakai untuk membeli sepeda, boleh ndak?” 

Setelah itu bapak hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, pertanda jika ia setuju dengan permintaanku tadi.

Tak terasa tibalah waktu kesembuhanku selepas khitanan itu, dan tibalah pula saat aku membeli sepeda yang kuharap-harapkan sejak dulu. Bersama dengan bapak yang mengantarku, melalui perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 5 km dengan dinaikinya sepeda klasik yang setia menemaninya. Yang kurasa sewaktu itu sudah pasti sangat senang, ya bagaimana tidak, karena mimpiku akhirnya terwujudkan. Aku saat itu belum begitu peka terhadap rasa lelah ataupun perjuangan yang telah bapak lakukan. Hanya memikirkan kebahagiaanku semata, ah bodohnya aku saat itu.

Kemudian aku pun mendapati sepeda ini, sepeda yang terus kukayuh dari mulai akhir bangku putih merah, hingga sampai akhir putih abu-abu. Hampir sekitar 7 tahun, ya 7 tahun, tentu itu bukan waktu yang singkat untuk dilalui. Dalam 7 tahun itu, sempat aku merasa goyah dan ingin beralih kepada motor roda dua yang dengan cepatnya dapat membawaku sampai ke tempat tujuan. Juga karena waktu itu teman-temanku yang kebanyakan mulai memakai kendaraan bermotor. Tetapi pada akhirnya aku masih tetap bersamanya (sepeda) saat ini, terlebih juga karena motivasi yang kudapat dari Bapak. Motivasi yang mengatakan bahwa keberhasilan itu dimulai dengan merasakan kesusahan terlebih dahulu, sederhananya semua yang diinginkan itu butuh proses, seperti halnya mengayuh sepeda ini.

Meski sekarang sudah jarang kunaiki karena telah ku tinggal pergi ke rantauku di sini, tapi ketika aku pulang dari rantauku, sesekali kusempatkan diri untuk menikmati kampung halaman dengan sepeda penuh kenangan. Sepeda yang bersamanya aku melewati waktu, yang bersamanya aku mulai dapat memperhatikan sekitarku, dan yang bersamanya aku tumbuh dan tak lagi hanya memikirkan kebahagiaanku seorang. Ya, dengan berjalannya waktu, sudah sewajarnya bila manusia berkembang dan berubah, menjadi lebih baik menjadi lebih bijak dari waktu sebelumnya.

Ah, bila aku mengingat tentang bagaimana bisa aku membeli dan bersama sepeda ini, turut pula kuingatmu bapak. Bapak, maaf bila aku belum dapat membalas setiap lelah yang kau rasakan. Mungkin yang dapat kulakukan untuk saat ini adalah berusaha menjadi yang terbaik agar kelak dapat kau banggakan. Kutitipkan salam dari kota bengawan ini, bapak...

 

Sawer


Anda suka dengan tulisan-tulisan di blog ini? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan blog ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol sawer di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

2 comments

  1. Cieee yang udah dewasa :ketawa:
    Kisahnya hampir mirip bro sama kisahku, cuma waktu itu saya gak pengen sepeda, tapi pengen sepatu bola :ketawa:

    BalasHapus
  2. @Irfan Andriartotak disangka ternyata sejak kecil kita sudah memiliki keinginan akan sesuatu ya :ketawa:

    BalasHapus