NgeShare - Dari Arloji, Teringat Akan Tragedi [Konyolku]

by - 1/27/2014


Hari Sabtu tepatnya pagi hari, gue bersiap mengawali hari untuk menuju sekolah tercinta. Mempersiapkan apa yang harus gue bawa (buku), mengenakan apa yang memang haru gue kenakan (seragam sekolah). Bersiap aku menitih onthel nan setia, menuju tujuan yang menanti (sekolah).

Namun sesaat langkah gue terhenti, hampir keluar dari garasi rumah. Berpapasan dengan sosok pria yang sejak dulu gue kagumi, gue hormati, dan gue teladani, tak lain dan tak bukan beliaulah "bapak" gue. Orang yang dengan sabar, tegas dan disiplin ngebimbing gue sampat saat ini. Berpapasan dengan bapak, tentu gak hanya diam yang gue lakuin, sapa menyapa tentu itu yang gue harus lakuin. Gue mendahului (menyapa) dan bapak yang meresponnya. Namun entah mengapa, respon itu kemudian berlanjut dengan seuntai kata-kata.

Kata-kata yang sepertinya bermaksud meledek/ mengejek namun juga memiliki arti bercanda alias humor (maklum bapak gue juga memiliki rasa humor yang hebat terutama sama anak-anaknya). Dalam bahasa Jawa beliau berkata,
"Weleh-weleh...arep sekolah ae nganggo jam tangan." (Weleh-weleh...mau sekolah aja pakai jam tangan.)
Lanjut dengan senyumannya yang khas. Selesai bapak berkata seperti itu, kemudian beliau melanjutkan langkahnya menuju dapur.

Eh, ternyata bapak tau kalau gue lagi pakai arloji/ jam tangan. Mendengar kata-kata bapak tadi, lantas gue sesaat teringat akan kenangan masa lalu sambil melihat jam tangan yang gue pakai. Kenangan masa lalu, yang indah, memalukan, berkesan, sulit dilupakan, dan ini gue beri nama "tragedi konyol" dalam hidup gue. Walaupun sebenarnya banyak kejadian atau tragedi konyol yang gue alami, tapi menurut gue inilah tragedi konyol yang paling berkesan dan mengena di hati [gue].

Tragedi ini bermula pada pertengahan tahun 2011. Tepat pada waktu itu sedang diadakan acara MOS di SMKN 1 Ngawi (sekolah gue sekarang). Dan waktu itu gue adalah salah satu peserta dari acara tersebut.

Diadakan sekitar 3 hari cukup membuat fisik ini mengeluh. Namun apa daya, inilah resiko menjadi siswa baru, mengikuti (peraturan) adalah sebuah pilihan terbaik.

Balik lagi ke tragedinya. Masih teringat dalam fikirku (ceileh), waktu itu acara MOS hari pertama. Waktu istirahat kedua, sekitar jam 11.45, bersama dengan semua (2) teman laki-laki gue, gue menuju masjid sekolah, karena waktu itu adzan Dhuhur udah berkumdandang. Oh, iya sebelumnya kenapa ada angka 2 yang gue beri tanda kurung, itu karena di kelas gue yang terdiri dari 34 siswa, siswa laki-lakinya hanya berjumlah 3 orang termasuk gue di dalamnya. Maklum jurusan Akuntansi, peminat laki-lakinya cukup jarang.

Karena di kelas gue cuma ada 3 orang laki-laki termasuk gue, guru-guru sering memangil kami bertiga dengan sebutan "Tiga Serangkai". Tapi kalau teman-teman wanita di kelas gue menyebut kami dengan sebutan "Trio Kwek-kwek". Apa saja sebutannya, kami tetap cuek saja.

Balik lagi ke ceritanya, kami (gue dan 2 teman gue tadi) menyempatkan diri untuk melaksanakan ibadah shalat Dhuhur. Selesai shalat, bukannya kami kembali ke kelas, kami malah duduk-duduk di depan masjid. Bermaksud menikmati waktu istirahat kami yang cukup lama yaitu sekitar 30 menit.

Namun apa daya, terlena oleh 30 menit yang kami anggap lama, kami sampai lupa tak tau jam berapa ini sekarang. Pertama kali sadar waktu istirahat telah usai pas kondisi sekolah yang tadinya rame karena banyak siswa yang sliweran, kemudian jadi sepi sunyi kayak kuburan. Kami lihat jam dinding di dalam masjid, ternyata kami telah melewati batas waktu istirahat. Dan kami mulai bertanya-tanya,
"Waduh2...piye iki, wis mlebu to tibak'e? Awakdewe telat iki. :(" (Waduh2...gimana ini, udah masuk to ternyata? Kita telat nih.)

Nyadar akan hal tersebut, lantas percepat gas (langkah kaki), pindah gigi ke gigi ke empat, tanpa ancang-ancang, langsung wer....melancong menuju kelas. Sampai di kelas, nampak sesuatu yang menakutkan, mendebarkan, buat bulu kuduk merinding, nyeremin pokoknya.

Kayak lagi ikut uji nyalinya Trans 7. Suasana nyeremin itu kami dapat dari kakak-kakak OSIS pembimbing di kelas kami yang nampak tak senang dengan keterlambatan kami bertiga. Mengetahui akan ketidak senangan mereka itu, kami hanya bisa pasrah sambil berdo'a pada Yang Maha Kuasa, berharap sesuatu yang baik menyertai kami.

Tapi nampaknya harapan instan kami itu sulit terkabul, dan kami bertiga harus ikhlas dengan konsekuensi yang diberikan para kakak-kakak OSIS. Kakak-kakak OSIS pembimbing berkata,
"Karena kalian bertiga terlambat 15 menit, kakak akan beri kalian konsekuensi."

Dan kami menjawab,
"Konsekuensinya apa Kak?"

Ganti mereka (Kakak2 OSIS) yang menjawab,
"Kalian harus minta tanda tangan dan minta maaf atas keterlambatan kalian kepada Kak Desi (Ketua OSIS)!"

Mendengar itu, ya apa yang bisa kami perbuat selain nurut kehendak senior. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh atasan (Kakak2 OSIS), kami menuju ke ruang OSIS. Ke ruang OSIS tak lain dan tak bukan tentu untuk menemui sang Ketua OSIS yang katanya terkenal galak.

Sampai di ruang OSIS, kebingungan kami alami. Mengapa begitu? Begitu karena banyak orang yang sedang berkumpul di dalam ruang OSIS. Bingung kami adalah yang mana orang yang bernama Kak Desi sang Ketua OSIS. Berbekal akan pribahasa "malu bertanya sesat di jalan", lantas kami beranikan diri untuk bertanya kepada seorang Kakak kelas wanita yang ada di dalam ruangan itu.

Dan alhamdulillah kami bersyukur karena kakak atau wanita tersebut adalah sang Ketua OSIS yang kami cari. Kami langsung utarakan maksud dan tujuan kami bertemu dengannya.

Namun sepertinya maksud dan tujuan kami tak berjalan dengan mulus. Karena kami kena dalam sebuah kejahilan yang biasa dilakukan ketika MOS. Kejahilan tersebut adalah kami disuruh kembali ke kelas tanpa membawa hasil tanda tangan. Mengapa demikian?

Hal tersebut terjadi karena kami menjelaskan kepada Ketua OSIS begini,
"Kak, kami disuruh untuk meminta tanda tangan kepada Kak Desi, karena kami terlambat masuk ke dalam kelas."

Lantas Ketua OSIS dengan tenangnya menjawab,
"Tanda tangan? Sama Kak Desi? Lha di sini yang namanya Desi bukan aku aja iw dek."

Bingung akan hal itu, kami hanya dapat terdiam sesaat, dan kemudian berkata,
"Terus gimana dong ini Kak?"

Tanpa pikir panjang, sang Ketua OSIS mengajak kami untuk kembali ke kelas kami. Di kelas kami bertiga terkejut, karena sang Ketua memberi tahu kalau kakak OSIS pembimbing di kelas kami juga bernama Desi.

Jujur waktu itu kami baru tahu bahwa Kakak OSIS pembimbing di kelas kami ada yang bernama Desi. Teman-teman kami yaitu 31 wanita di dalam kelas tersebut tertawa termasuk para Kakak-kakak OSIS. Sungguh kami malu dan malu, berharap waktu segera cepat berlalu.

Itulah saat tragedi konyol pertama yang kami bertiga alami. Karena hal itu gue jadi kapok, dan memutuskan untuk memakai arloji atau istilah mainstreamnya jam tangan. Tak hanya gue aja yang pakai jam tangan, tapi kedua teman gue tadi juga ikutan pakai jam tangan. Mungkin mereka trauma juga akan kejadian tersebut.

Dan sampai saat gue kelas 3 ini, gue dan 2 teman gue tadi masih pakai jam tangan (kalau di sekolah).

Begitulah cerita tragedi yang berkesan buat gue. Setelah mengingat akan tragedi masa lalu itu, gue jadi lebih bersemangat buat menuju ke sekolah. Menuju sekolah bertemu dengan teman-teman seperjuangan.

Dan dari apa yang gue ceritain di atas, gue mau berpesan kepada kamu
Jangan sia-siakan waktu yang kamu miliki, karena sedetik waktu yang terlewat tak kan pernah kembali.

Sawer


Anda suka dengan tulisan-tulisan di blog ini? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan blog ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol sawer di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

2 comments